Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Rabu, 04 April 2012

MENGEMBALIKAN JATI DIRI MAHASISWA

Rabu, 04 April 2012
MENGEMBALIKAN JATI DIRI MAHASISWA



Kebelakangan ini, peranan mahasiswa yang dianggap sebagai agen arus perubahan yang diinginkan masyarakat bergema semula. Pandangan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan sebagai agen gerakan pembaharuan, hendaklah menyadarkan kita (mahasiswa) sebagai kelompok intelektual muda.

 
Dalam hal itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berperanan lebih nyata terhadap perubahan atau paling tidak menjadi pendokong
dari sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk melakukan perubahan terhadap sistem yang cenderung berorientasi pada kekuasaan yang membelenggu demokrasi, menuntut peranan yang lebih dari mahasiswa sebagai agen perubahan serta sebagai mekanisma kawalan.


Kedudukan mahasiswa sebagai mekanisma kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan dimandulkan oleh kekuasaan yang tidak mengenal apa yang dikatakan "kritikan". Dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent of change.



Namun kalau dinilai, gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas, sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua, disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan.


Gerakan Mahasiswa

Kalau kita bandingkan  mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah jauh berbeza. Dulu, mahasiswa dengan idealismenya dapat menjadi payung kepada masyarakat marhain yang perlukan pembelaan. Peristiwa Baling 1974 adalah manifestasi jelas peranan mahasiswa yang dimaksudkan.

Semangat juang yang digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu, dengan setiap saat melakukan penyadaran terhadap rakyat, berhasil menghasilkan beberapa orang pemimpin ternama hari ini

Bandingkan hal tersebut dengan mahasiswa sekarang, yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri  mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan.
Ada dua persoalan yang mendasari analisis mengenai sebab-sebab hal tersebut, sehingga mahasiswa lebih bersikap hedonis. Pertama, pengaruh budaya Barat yang tidak tersekat telah meracuni pemuda dan mahasiswa. Mereka dengan mudah meniru budaya asing tanpa menyadari risikonya, seperti berpesta-pestaan, dan menghabiskan masa kepada perkara-perkara yang lansung tidak bermenafaat.

Kedua, adanya pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mentaliti mahasiswa. Ternyata, pola atau sistem yang digunakan oleh Orde Baru untuk melenyapkan idealisme serta daya kritis sangatlah ampuh dan efektif, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis dalam bidang ekonomi yang cenderung konsumtif.

Di samping itu, sistem yang diterapkan dalam pendidikan, yang berteraskan lulus peperiksaan membentuk pola pikir serta mentaliti mahasiswa, ternyata hanya menjadikan mereka sebagai kuli.

Mulai dari sekolah rendah, kita dihulur dengan ilmu yang bersifat dogma, serta sejarah yang dimanipulasi sedemikian rupa. Itu pun kita terima sebagai dogma.

Dalam sistem persekolahan menengah pun, pada saat ini sama saja seperti itu. Sebab, kita diajari untuk mempelajari ilmunya dengan orientasi kerja. Jadi, kemerdekaan berfikir serta mempelajari ilmu serasa dibelenggu sistem yang membawanya pada orientasi tersebut.

Sistem GPA/CGPA  yang diterapkan dengan kaku dan diperburukkan dengan kos pendidikan yang tinggi membebani mahasiswa, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap daya kritis mahasiswa serta idelismenya. Sebab, mahasiswa dituntut secara penuh berfikir mengenai hal-hal akademis semata-mata disamping tidak memikirkan soal-soal kerakyatan jika ingin terus menuntut di universiti.

Kondisi seperti itu, menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu menara gading dan jauh dari jangkauan kalangan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi kelas yang elite dan sama sekali tidak tersentuh dengan persoalan kerakyatan.

Dari sistem seperti itu, terbentuklah mentaliti mahasiswa yang saat ini kita rasakan hedonis dan pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup yang serba praktis dan tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran. Kita terjebak dengan hanya berdebat di bilik kuliah.

Jarang sekali mahasiswa cuba berfikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau pun bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini.  Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif (jika dibanding dengan kegiatan ilmiah).

Melihat fenomena tersebut, maka kita mempunyai kewajiban untuk mengubah mentalitas yang hedonis dan pragmatis tersebut kembali kepada jati diri mahasiswa, yang mempunyai idealisme tinggi. Salah satu jalan alternatif untuk itu adalah dengan menghadapkan langsung mahasiswa pada persoalan-persoalan kerakyatan.

Di samping itu, supaya berjalan seimbang, fungsi unversiti sebagai fungsi pengabdian masyarakat harus dilaksanakan tidak hanya terbatas pada simbol, tetapi benar-benar real di dalam aplikasinya. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara gading. Dengan begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang akan dapat dibangunkan kembali.
   OLEH : ZULKIPLY HARU

0 komentar:

Posting Komentar

 

like this

 

Blogger Gadgets