LAMPUNGPOST.COM | l |
lampungpost.com/apresiasi/bangsa yang kehilangan karakter |
Judul : Pendidikan Karakter
Penulis : Agus Wibowo
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal Buku : xii, 172 hlm
PENDIDIKAN karakter, saat ini dan mungkin untuk beberapa tahun ke depan sedang ngetrend dan booming.
Itu tidak lepas dari gencarnya sosialisasi yang dilakukan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai upaya memperbaiki karakter generasi
muda pada khususnya dan bangsa ini pada umumnya. Sebagaimana kita
ketahui, karakter bangsa ini tengah terdegradasi. Seperti ditandai
dengan tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, antarkampung, dan
sebagainya. Praktek plagiasi atas hak cipta, perjokian seleksi masuk
perguruan tinggi negeri (SMPTN), perjokian ujian nasional (Unas), dan
praktek korupsi yang kental mewarnai kehidupan kenegaraan kita. Semua
itu hanya sekian dari contoh "amburadulnya"
moralitas dan karakter
bangsa kita saat ini.
Pendidikan
karakter hadir sebagai solusi problem moralitas dan karakter itu.
Meskipun bukan sebagai sesuatu yang baru, pendidikan karakter cukup
menjadi semacam gereget bagi dunia pendidikan pada khususnya untuk
membenahi moralitas generasi muda. Pendidikan karakter–mungkin-bukan
sesuatu yang baru, karena sebelumnya sudah ada pendidikan budi pekerti,
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), pendidikan agama, dan sebagainya.
Hanya saja, pendidikan karakter ini memiliki kelebihan karena merangkum
tiga aspek kecerdasan peserta didik, yaitu kecerdasan afektif, kognitif,
dan psikomotorik.
Belum
berhasilnya—untuk tidak menyebut gagal—implementasi pendidikan agama,
PKn dan sejenisnya, menurut penulis buku ini, disebabkan dua hal pokok,
yaitu: Pertama, kurang terampilnya para guru menyelipkan pendidikan
karakter dalam proses pembelajaran. Kedua, sekolah terlalu fokus
mengejar target-target akademik—khususnya target lulus ujian nasional
(UN). Karena sekolah masih fokus pada aspek-aspek kognitif atau
akademik, baik secara nasional maupun lokal di satuan pendidikan. Maka,
aspek soft skils atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter justru diabaikan.
Bangsa
kita sepertinya saat ini kehilangan kearifan lokal yang menjadi karakter
budaya bangsa sejak berabad-abad lalu. Seperti maraknya kasus tawuran
antarpelajar, antarmahasiswa, dan antarkampung. Tindak korupsi di semua
lini kehidupan dan institusi. Kebohongan publik yang telah menjadi
bahasa sehari-hari. Tidak ada kepastian hukum, karena pada prakteknya
hukum kita bisa diperjualbelikan. Parahnya lagi, bangsa ini miskin figur
yang bisa jadi contoh konkret, serta diteladani oleh masyarakat. Maka
tidak heran jika pembentukan dan pembinaan karakter bangsa menuju
masyarakat yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi
semangat nasionalisme laksana kapal tanpa pedoman di tengah luasnya
samudera.
Membaca
fakta-fakta krisis moralitas sebagaimana diuraikan, kalau kita sadar,
bangsa ini sedang berada di sisi urang kehancuran; tinggal sedikit lagi
masuk tercebur dalam jurang kehancuran. Hal itu sebagaimana pendapat
Thomas Lickona, seorang pendidik karakter dari Cortland University.
Menurut dia, sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika
memiliki sepuluh tanda-tanda, seperti; 1) meningkatnya kekerasan di
kalangan remaja, 2) membudayanya ketidakjujuran, 3) sikap fanatik
terhadap kelompok/peer group, 4) rendahnya rasa hormat kepada
orang tua dan guru, 5) semakin kaburnya moral baik dan buruk, 6)
penggunaan bahasa yang memburuk, 7) meningkatnya perilaku merusak diri
seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, 8) rendahnya rasa
tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, 9) menurunnya
etos kerja, dan 10) adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian
diantara sesama.
Kita
semua tentu tidak ingin bangsa ini hancur. Alangkah sedinya para Bapak
Bangsa dan para pejuang bangsa, yang sudah susah payah merebut
kemerdekaan dengan tetesan keringat, darah dan air mata melihat hasil
perjuangannya tak tersisa akibat kehancuran. Pertanyaan yang muncul
kemudian, apa yang salah dengan bangsa ini. Sehingga sebagian besar
generasi muda dan generasi tua telah tergadaikan karakternya. Moralitas,
budi dan susila, telah absen dari kehidupan mereka, hingga yang tersisa
tidak sedikit pun. Bagaimana cara mengatasi krisis moralitas dan
tergadainya karakter sebagian generasi muda itu?
Dapat
dikatakan krisis moralitas dan karakter utama bangsa ini, sudah
sedemikian akut. Maka, solusi terbaik untuk memperbaiki karakter bangsa
ini adalah dengan mengoptimalkan pendidikan karakter. Penerapan
pendidikan karakter, sebaiknya melalui proses berkelanjutan, tidak
berakhir selama bangsa ini ada dan ingin tetap eksis. Pendidikan
karakter uga hrus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi,
sehingga ketika terjadi pergantian kepemimpinan—baik presiden atau
menteri pendidikan—pendidikan karakter ini jangan sampai dihilangkan,
meskipun demi alasan politis sekalipun.
Dalam
semangat merevitalisasi dan mengarusutamakan pendidikan karakter itulah
buku ini muncul. Di dalamnya dibahas hal ikhwal pendidikan karakter,
yang antara lain meliputi: urgensi, pengertian, sejarah, hingga desain
dan implementasi pendidikan karakter di berbagai tingkat pendidikan.
Dibahas juga bagaimana pendidikan karakter tersebut dilakukan di
lingkungan paling intim bagi setiap peserta didik, yakni keluarga. Buku
ini layak dibaca oleh para mahasiswa, dosen dan sivitas akademika lain
yang bergelut di bidang ilmu pendidikan. Demikian pula para pengambil
kebijakan dan praktisi pendidikan: guru dan tenaga pendidikanm dapat
menarik informasi dan inspirasi penting dari buku ini.
Imron Nasri, peminat perbukuan, tinggal di Yogyakarta.
|
1 komentar:
asyek
Posting Komentar